Monday, November 10, 2008

PinTu iTu TeRbUkA JuGa

“Tidak bisa, pokoknya saya minta uang lima ribu !!!” aku membentak ibu:
“Tapi fan, ini untuk biaya SPP mu yang sudah tiga bulan nunggak” jawab ibuku mengeluh dengan bijak.
“Ah, tak peduli dengan sekolahku. Semua guru membenciku teman-teman menjauhiku. Persetan dengan sekolah” emosiku meninggi. ”Ayo cepat bu !” aku terus memaksa ibu agar mengeluarkan uang untuk ku belikan sebungkus Marlboro.
“Fan, Fandi kan juga tahu kondisi kita saat ini, orang yang mau menjahit baju sudah berkurang, harga sembako semakin mahal, hutang ibu ke bi Eha belum terbayar. Ibu mohon Fandi mesti mengerti” ibuku memelas penuh harap.
“Ah dasar, ibu pelit !” aku banting pintu rumah dan pergi meninggalkan ibu dengan penuh kemarahan.
***
Aku adalah anak semata wayang, ayahku bernama Ridwan, beliau seorang pengusaha dan terpaksa bangkrut karena ditipu rekan kerjanya sehingga meninggalkan hutang yang membuat rumah kami disita. Ibuku bernama Aminah, beliau asli Mojokerto dan tinggal di Garut bersama ayah. Aku ditinggalkan ayahku menuju alam Barzah ketika aku berumur 7 tahun, sekarang genap sudah usiaku 12 tahun. Selama 4 tahun terakhir ini aku banting tulang, sekolah pagi hari dan petangnya aku jualan Es pelastik buatan ibu di terminal Garut. Ibuku sekarang sudah tua, tapi semangat menjahitnya masih kuat untuk menghasilkan makan seadaannya, terkadang ibu mesti menghutang ke bi Eha penjual sembako.
***
Sisa kemarahan masih ku pendam dalam hati, ku berjalan tanpa tujuan menyusuri gang-gang, lidahku sudah tak tahan ingin menghisap asap tembakau, karena sudah seminggu ini lidahku menganggur dari rokok. “Dasar, ibu tak tahu keinginan anak !” kuhabiskan sisa amarahku, kutendang kaleng PEPSI, ku berteriak melepas kekesalanku. “Aku bosan hidup seperti ini, makan dengan tahu terus, rumah sepi tanpa TV” ku terus mengoceh sendiri, kesal karena hidup dalam kemiskinan dan semakin menderita lagi ketika krisis melanda negeri ini.
Tak tahan ku menahan lelah dan lapar, aku menyerah, ku biarkan tubuhku berbaring dikursi terminal Garut. Tapi wajah ibuku terus tersirat dalam ingatanku, ku akui….aku menyesal meninggalkan ibu dalam usia lanjutnya yang membutukan perhatian dan kasih sayang dari anaknya. “Ah, pusing aku dengan hidupku !” ku berteriak mencoba membuyarkan lamunanku. Tapi, wajah itu terus tersirat dalam hatiku, ku melamun meskipun sekelilingku bising bunyi mesin Bis dan suara orang yang berlalu lalang.
“Wah, jam tiga malam” tak terasa aku tertidur lelap di kursi terminal. Suasana sunyi, sepi, dingin...menambah perihnya perutku ini yang sedari pagi belum tersentuh makanan. Ku berusaha bangkit dan berjalan dengan perut perih menuju alun-alun Tarogong. Jiwa liarku bangkit ketika melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan berkaca mata minus, membawa ransel turun dari mobil L300 angkutan antar kota Bandung-Garut-Pameungpeuk. “He, menta duit euy !” aku mencoba memalaknya.
“Eh, aya naon jang ?”seru pemuda itu malah balik nanya
Aku langsung mengeluarkan pisau kecil yang sudah biasa aku bawa “Ayo keluarkan duitna” ku terus memaksa dengan logat sundaku yang tak fasih karena pengaruh ibuku yang tak lancar berbahasa sunda.
Pemuda itu malah acuh tak acuh, lalu aku mencoba menggertaknya dengan pisau, ku arahkan kelehernya. Tapi, ternyata pemuda itu sigap menangkis tanganku dan spontan memukul wajahku.
Aku pingsan, ku buka mataku… dan, tak ku sangka, ternyata aku berada dalam mesjid. Yah, mesjid Agung Tarogong namanya. Ku coba bangkit, tapi telingaku menangkap lantunan Al Qur’an yang di baca imam Mesjid. Bayanganku menarawang jauh kewajah ibu yang dahulu sewaktu aku kecil beliau mengajariku mengaji dan shalat. Ibu kerap kali memukul kakiku ketika aku enggan mengaji dan shalat, tapi, sudah dua tahun ini aku ingin berjalan sendiri tanpa perintah ibuku, sehingga aku jadi jarang mengaji dan shalat.
“Jang, udah baikan?” tangan pemuda itu membuyarkan nostalgiaku.
Aku diam tak menjawab, aku lelah dan lapar.
“Kamu muslim, kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Ayo ambil air wudhu terus shalat shubuh” suruh pemuda itu sedikit memaksa.
Aku langsung di bawanya keWC untuk berwudhu, ah...ku merasakan kesejukan hati ketika disiram air. Dia menuntunku kembali ke mesjid dan menungguku shalat shubuh. Sungguh, ku merasakan ketenangan dalam hatiku, sudah sekian lama aku meninggalkannya, tak tahu sudah berapa banyak dosaku karena meninggalkanya.
Rasa lelah, menyesal, sakit hati, lapar, begitu terasa ketika aku sujud. Sekonyong-konyong wajah ibu terbayang di akhir sujudku “Aku menyesal, aku anak durhaka...maafkan aku ibu” ku berteriak dalam hati. Dan akhirnya tangisku meledak, ku berusaha mengakhiri shalatku.
“Ku naon Jang ?” tanya pemuda itu penuh kecemasan. Aku tetap menangis tak peduli jama’ah lain melihatku. Kemudian pemuda itu keluar mencari air hangat untukku minum “Ayo minum dulu Jang" ku minum air itu dan tangisku reda sejenak dan, ku langsung memeluk pemuda itu serta kutumpahkan penyesalanku dalam tangisan, ku tertidur dalam pelukanya.
“Bangun Jang” suara bariton itu mencoba membangunkanku “Makan dulu bubur ini mumpung lagi hangat” pemuda itu menyodorkan semangkuk bubur ayam yang masih hangat. “Kunaon ujang teh ?, coba ceritain. Oh iyah, perkenalkan nama saya Asad, Asadullah lengkapnya, ujang bisa panggil saya kang Asad” ia berharap ingin tahu keadaanku.
“Nama saya Fandi, saya orang Sukaregang, dan…..” kuceritakan semua kisah hidupku.
“Oh jadi begitu, Alhamdulillah Allah telah membukakan pintu hati Fandi, jadi sekarang Fandi mau kemana ?” tanya pemuda itu dengan penuh kedewasaan.
"Tak tahu kang, saya malu pulang ke rumah” timpalku,
“Baiklah, kamu kerumah akang dulu, setelah itu akang antar kamu pulang kerumahmu oke ?” pintanya penuh harap. Aku mengangguk saja menuruti.
Lalu kamipun keluar dari mesjid dan naik angkot no 04 jurusan Cipanas.
Sesampai dirumah, “Wah, ternyata akang ini anaknya seorang kiyai kondang di Garut dan terkenal dengan ketawadluwannya” bisiku dalam hati. Aku dijamu dirumahnya, subhanallah mereka keluarga yang bahagia. “oh….ibuku” sesal dalam hatiku.
“Ayo, gimana Fan, sudah siap menemui ibumu ?” tanya kang Asad mengagetkanku,
“Ayo kang, Fandi sudah siap” ku jawab dengan sejuta tekad dan penyesalanku.
Jantungku berdegup kencang seiring lajunya roda bebek Satria menuju rumahku. Ku teringat terus wajah ibu yang dulu telah mengandungku, menyusuiku, mendidikku, dan banting tulang membiayai hidupku “Aku malu pada ibuku, dasar anak tak tahu terima kasih, anak durhaka” teriaakku dalam hati.
“I...ni kang rumah Fandi” ragu aku berucap karena malu aku bertemu ibu.
“Oh disini, ayo Fan persiapkan tekadmu, minta maaf pada ibumu, peluklah dia!” support kang Asad membangkitkan tekadku.
Ku melangkah menuju pintu rumah, ku ketuk pintu dan “Assalamualaikum” ku ucapkan salam penuh rasa harap dan penyesalan. Lama aku menunggu pintu terbuka, hatiku cemas, pikiranku tak karuan “ ada apa dengan ibu ?” hatiku sepontan bertanya.
Lalu, “wa’alaikum salam” suara lemah ibuku terdengar menusuk kalbu. Dan pintu itu terbuka, dan ku lihat sosok mulianya seorang ibu, tak ragu aku langsung memeluk ibu dengan sejuta penyesalan, maaf dan rasa terimakasih kutumpahkan dalam tangisan.
“Terimakasih Allah, terimakasih ibu, terimakasih kang Asad, terimakasih ibu….. Ya Allah, jadikan aku sebagai anak yang shaleh”.
(kupersembahkan untuk sahabatku yang berbakti pada orang tua ).

No comments: