Monday, November 10, 2008

AkU dAn FoTo ItU

"Setan!", atau aku memang setan?. Kenapa mesti terus menyalahkan setan, seakan-akan aku hendak melepaskan semua dosaku, lalu kubebankan semua pada setan. Siapa sebenarnya setan, akukah?, atau…?
Memang, aku manusia biasa, aku bukan Malaikat. Tapi, akupun bukan setan. Aku manusia, titik!, meskipun ku akui aku adalah manusia makhluk bermuka dua. Tapi, kenapa muka setanku yang selalu kunampakkan meskipun hanya dalam kesendirian.
"Tidak!, aku ini seorang ustadz juga seorang tokoh pemuda yang seharusnya memberikan tauladan baik bagi masyarakat" sedikit ku berteriak. Meskipun tak dapat aku tutup-tutupi bahwa aku ini adalah seorang pemuda lajang yang tak lepas dari serangan hawa nafsu.
***
Aku Bahrul Singa Warman, aku lulusan S1 di Universitas Al Azhar Cairo. Kepulanganku ke tanah Parahyangan ini hanya karena tuntutan kakekku, beliau seorang Kiyai kondang, tapi sekarang beliau sudah lanjut usia dan mulai sakit-sakitan. Pesantren yang dulu dikelolanya, saat ini menjadi tanggung jawabku. Makanya, niatku dulu ingin melanjutkan S2 di Universitas yang sama, tidak kesampaian karena kakek terus memaksaku pulang untuk mengelola pesantren.
Disamping mengurus pesantren, keseharianku disibukkan dengan ceramah dan menulis. Tapi, jiwa mudaku jadi sering berontak ketika pertama kali ….
***
Kupandangi lagi foto ukuran 9x13 itu, terkadang aku ngintip dari jendela perpustakaan pribadiku, yah hanya untuk melampiaskan tuntutan hawa nafsuku. Ku amati terus tiap liuk dan garik-gerik, walaupun hati kecilku meronta dan berontak.
"Tak apalah, yang penting kamu tidak merugikan orang lain" bisik batinku.
"Ya, tidak merugikan orang lain" bisikan lain ikut mendukungku.
Tiap kali kumelakukannya tiap kali itu pula kumerasionalisasikannya, agar penyesalan itu tak selalu menghantui benakku.
Pernah, saat biasa kupandangi foto itu di perpustakaan pribadi, tiba-tiba adikku masuk nyelonong.
"Eh Aa, maafin yah, kirain nggak ada siapa-siapa" ucap adikku polos.
"Makanya, kalo mau masuk ketok dulu biar mastiin ada orang atau enggak!!", jantungku berdegup kencang dan nada bicaraku meninggi. Adikku tertunduk dan mendekat.
"Eh A, tadi lagi megang apa, kayaknya serius banget?" Tanya adikku.
"Dug", dadaku sesak serasa dihantam gadam, pertanyaan itu seakan hendak menelanjangiku.
"Ng…gak ada, sudah pergi sana!!"
"ah, kenapa dengan ucapanku, duh alangkah hinanya aku dihadapan adikku" hatiku merintih.
"Ma…afin Fahmi, kalo Ami salah bertanya. Nih, Ami kesini hanya ingin ngasih surat undangan ceramah dari Mesjid At Tamam" sambil menyodorkan surat, adikku ketakutan.
"Maafin Aa, sebenarnya tak ada maksud Aa ingin memarahimu, andai saja kamu tau…" sesal batinku.
"Ceramah!!", andai saja mereka tau siapa diriku dikala kesendirian. Memang, aku akui kalo retorika ceramahku memukau, ketika aku berteriak mustami' tertegun, dikala aku menangis mereka tersedu-sedu. Tapi, ceramahku ini seakan menambah kehinaanku, ketakberdayaanku, kekerdilanku,…ah…titel License-kupun hanya kedok yang menutupi dosa-dosaku.
Kuberanjak menuju ruang keluarga, membawa beribu-ribu tekad yang menggantung.
"Bu, Pa, sudah waktunya saya menggenapkan perjalanan hidup. Saya masih menunggu keputusan Bapak dan Ibu dulu" kususun kata-kata penuh hati-hati. Seketika suasana menjadi hening.
Ibu mulai angkat bicara "Rul, anakku, kamu ini anak sulung dan kamu adalah harapan ibu satu-satunya. Adikmu belum dewasa dan Bapakmu belum sembuh. Bagaimana kalau niatmu itu ditunda dulu sampai keadaan Bapakmu membaik" jawab ibuku memelas.
Duh, aku tak sanggup melihat mata ibu berkaca-kaca, ibu memang sangat mengharapkanku agar bisa membantu pengobatan Bapak. Ku akui, Ibu sudah mulai melemah, raut di wajahnya mulai menua, beliau terlalu sayang padaku sehingga takut jika aku menikah nanti, aku tidak bisa menemaninya lagi.
"Tapi aku, bagaimana dengan diriku" batinku berontak. Mulutku kelu tak bisa berucap.

Foto itu kukeluarkan lagi dari himpitan lembaran buku diary, hanya untuk mengobati kebutuhan nafsuku. Lalu, setelah itu kurasionalisasikan lagi, agar tak kusesali perbuatanku ini.
"Ah, dari pada saya berzinah!", hembusan panas ini terus meniupi amarahku.
Sekonyong-konyong aku teringat dengan bacaanku kemarin, Ibnu Qayyim berkata: "Ulama Su' (jelek) itu adalah mereka yang duduk di depan pintu Surga, mereka menyeru manusia dengan ucapannya. Namun, mereka menyeru manusia menuju neraka dengan perbuatannya",
"hiiii" tubuhku langsung merinding.
Kembali hawa panas itu membentak "Tapi kamu tidak terang-terangan melakukannya!"
Hati kecilku merintih dan berkata lirih "Kamu kan sudah tau hukumnya Ghadlul Bashar?", tertegun ku mencari sebuah jawaban.
***
Setiap pagi kecuali hari Jum'at, ku berangkat ke pesantren. Setelah keliling-keliling kelas sebentar untuk mengontrol keadaan, aku lekas beranjak menuju kantor pribadi. Melamun, tidak lebih. Sebab tiap kali kupergi kesini, foto itu menjelma menjadi seorang "Jinsun Lathîf" (makhluq halus).
"Ah…seandainya", mulai kumelamun.
Kamis sorenya aku biasa bersama Ibu pergi ke RS dr. Slamet untuk check up Bapak.
"Stroke, pak Warman mulai membaik" tutur pak dokter sambil memberikan resep obat seperti biasa.
"Alhamdulillah!!" serentak aku dan Ibu berhamdalah.
Ya, Alhamdulillah, karena dengan kesembuhan Bapak maka cita-cita lamaku akan segera terkabul.

Kupandangi foto itu dengan senyum bangga, karena dia tak kan lagi mengganggu aktivitas da'wahku.
"Sebentar lagi, Sebentar lagiii……" ku berteriak melepas rasa bahagia.
"Tok, tok, tok" pintu perpustakaan diketok, segera kusimpan foto itu.
"Kenapa A, kok teriak-teriak?" Tanya adikku heran.
"Ups" tak ku jawab, langsung kudekap tubuh adikku dengan erat, Adikku bingung.
"Ah adikku, kamu belum dewasa" bisik batinku bahagia.
"Prang!" sekonyong-konyong suara piring jatuh di kamar Atas. Tak ragu ku langsung lari bersama adik ke kamar, namun, ku lihat tubuh Ibu lunglai terjerembab di atas lantai. Bapak tak kuasa melihat, karena tak berdaya untuk bergerak.
"Ami, cepat telpon Ambulan!" hatiku tak menentu, pikiranku tak karuan.
"Jangan ibu, jangan sekarang..!"
Tak lama, suara sirine Ambulan meraung seakan ikut bersedih. Kutemani Ibu dan kutunggu di depan pintu UGD. Seiring degup jantungku yang berdebur, pikiranku terus bertanya "Kenapa, ada apa dengan Ibu?".
"Sabar ya dik, Ibumu dalam keadaan kritis. Beliau terserang TBC" tutur dokter membuat mataku berkunang-kunang.
"Apa?!, tidak!" aku bingung, lututku lemas. Pantas, aku sering melihat Ibu menyembunyikan batuknya, dan entah apa yang dipegang ditangannya. Duh, ternyata Ibu terserang TBC.
Tak terasa, air hangat keluar dari kedua kelopak mataku, kerongkonganku tercekat, pikiranku tak menentu.
"AKu,…foto itu,….Ibu,…cita-citaku,….dosaku" kumenangisi diriku dan Ibu.
Kemana lagi aku mesti mengadu, tanggung jawabku semakin berat. Tapi foto itu, cita-cita itu…?. Akankah foto itu menjadi halal bagiku?, akankah akhwat di foto itu yang selalu ku intip di jendela perpustakaan, selalu kulirik di saat dia mengajar di pesantren, selalu menjadi angan-angan dan lamunanku itu, menjadi istriku?!.
Kembali kupandangi foto itu dengan tatap kosong.
Disaat kefasikan melilit emosi

No comments: