Monday, November 10, 2008

PinTu iTu TeRbUkA JuGa

“Tidak bisa, pokoknya saya minta uang lima ribu !!!” aku membentak ibu:
“Tapi fan, ini untuk biaya SPP mu yang sudah tiga bulan nunggak” jawab ibuku mengeluh dengan bijak.
“Ah, tak peduli dengan sekolahku. Semua guru membenciku teman-teman menjauhiku. Persetan dengan sekolah” emosiku meninggi. ”Ayo cepat bu !” aku terus memaksa ibu agar mengeluarkan uang untuk ku belikan sebungkus Marlboro.
“Fan, Fandi kan juga tahu kondisi kita saat ini, orang yang mau menjahit baju sudah berkurang, harga sembako semakin mahal, hutang ibu ke bi Eha belum terbayar. Ibu mohon Fandi mesti mengerti” ibuku memelas penuh harap.
“Ah dasar, ibu pelit !” aku banting pintu rumah dan pergi meninggalkan ibu dengan penuh kemarahan.
***
Aku adalah anak semata wayang, ayahku bernama Ridwan, beliau seorang pengusaha dan terpaksa bangkrut karena ditipu rekan kerjanya sehingga meninggalkan hutang yang membuat rumah kami disita. Ibuku bernama Aminah, beliau asli Mojokerto dan tinggal di Garut bersama ayah. Aku ditinggalkan ayahku menuju alam Barzah ketika aku berumur 7 tahun, sekarang genap sudah usiaku 12 tahun. Selama 4 tahun terakhir ini aku banting tulang, sekolah pagi hari dan petangnya aku jualan Es pelastik buatan ibu di terminal Garut. Ibuku sekarang sudah tua, tapi semangat menjahitnya masih kuat untuk menghasilkan makan seadaannya, terkadang ibu mesti menghutang ke bi Eha penjual sembako.
***
Sisa kemarahan masih ku pendam dalam hati, ku berjalan tanpa tujuan menyusuri gang-gang, lidahku sudah tak tahan ingin menghisap asap tembakau, karena sudah seminggu ini lidahku menganggur dari rokok. “Dasar, ibu tak tahu keinginan anak !” kuhabiskan sisa amarahku, kutendang kaleng PEPSI, ku berteriak melepas kekesalanku. “Aku bosan hidup seperti ini, makan dengan tahu terus, rumah sepi tanpa TV” ku terus mengoceh sendiri, kesal karena hidup dalam kemiskinan dan semakin menderita lagi ketika krisis melanda negeri ini.
Tak tahan ku menahan lelah dan lapar, aku menyerah, ku biarkan tubuhku berbaring dikursi terminal Garut. Tapi wajah ibuku terus tersirat dalam ingatanku, ku akui….aku menyesal meninggalkan ibu dalam usia lanjutnya yang membutukan perhatian dan kasih sayang dari anaknya. “Ah, pusing aku dengan hidupku !” ku berteriak mencoba membuyarkan lamunanku. Tapi, wajah itu terus tersirat dalam hatiku, ku melamun meskipun sekelilingku bising bunyi mesin Bis dan suara orang yang berlalu lalang.
“Wah, jam tiga malam” tak terasa aku tertidur lelap di kursi terminal. Suasana sunyi, sepi, dingin...menambah perihnya perutku ini yang sedari pagi belum tersentuh makanan. Ku berusaha bangkit dan berjalan dengan perut perih menuju alun-alun Tarogong. Jiwa liarku bangkit ketika melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan berkaca mata minus, membawa ransel turun dari mobil L300 angkutan antar kota Bandung-Garut-Pameungpeuk. “He, menta duit euy !” aku mencoba memalaknya.
“Eh, aya naon jang ?”seru pemuda itu malah balik nanya
Aku langsung mengeluarkan pisau kecil yang sudah biasa aku bawa “Ayo keluarkan duitna” ku terus memaksa dengan logat sundaku yang tak fasih karena pengaruh ibuku yang tak lancar berbahasa sunda.
Pemuda itu malah acuh tak acuh, lalu aku mencoba menggertaknya dengan pisau, ku arahkan kelehernya. Tapi, ternyata pemuda itu sigap menangkis tanganku dan spontan memukul wajahku.
Aku pingsan, ku buka mataku… dan, tak ku sangka, ternyata aku berada dalam mesjid. Yah, mesjid Agung Tarogong namanya. Ku coba bangkit, tapi telingaku menangkap lantunan Al Qur’an yang di baca imam Mesjid. Bayanganku menarawang jauh kewajah ibu yang dahulu sewaktu aku kecil beliau mengajariku mengaji dan shalat. Ibu kerap kali memukul kakiku ketika aku enggan mengaji dan shalat, tapi, sudah dua tahun ini aku ingin berjalan sendiri tanpa perintah ibuku, sehingga aku jadi jarang mengaji dan shalat.
“Jang, udah baikan?” tangan pemuda itu membuyarkan nostalgiaku.
Aku diam tak menjawab, aku lelah dan lapar.
“Kamu muslim, kan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Ayo ambil air wudhu terus shalat shubuh” suruh pemuda itu sedikit memaksa.
Aku langsung di bawanya keWC untuk berwudhu, ah...ku merasakan kesejukan hati ketika disiram air. Dia menuntunku kembali ke mesjid dan menungguku shalat shubuh. Sungguh, ku merasakan ketenangan dalam hatiku, sudah sekian lama aku meninggalkannya, tak tahu sudah berapa banyak dosaku karena meninggalkanya.
Rasa lelah, menyesal, sakit hati, lapar, begitu terasa ketika aku sujud. Sekonyong-konyong wajah ibu terbayang di akhir sujudku “Aku menyesal, aku anak durhaka...maafkan aku ibu” ku berteriak dalam hati. Dan akhirnya tangisku meledak, ku berusaha mengakhiri shalatku.
“Ku naon Jang ?” tanya pemuda itu penuh kecemasan. Aku tetap menangis tak peduli jama’ah lain melihatku. Kemudian pemuda itu keluar mencari air hangat untukku minum “Ayo minum dulu Jang" ku minum air itu dan tangisku reda sejenak dan, ku langsung memeluk pemuda itu serta kutumpahkan penyesalanku dalam tangisan, ku tertidur dalam pelukanya.
“Bangun Jang” suara bariton itu mencoba membangunkanku “Makan dulu bubur ini mumpung lagi hangat” pemuda itu menyodorkan semangkuk bubur ayam yang masih hangat. “Kunaon ujang teh ?, coba ceritain. Oh iyah, perkenalkan nama saya Asad, Asadullah lengkapnya, ujang bisa panggil saya kang Asad” ia berharap ingin tahu keadaanku.
“Nama saya Fandi, saya orang Sukaregang, dan…..” kuceritakan semua kisah hidupku.
“Oh jadi begitu, Alhamdulillah Allah telah membukakan pintu hati Fandi, jadi sekarang Fandi mau kemana ?” tanya pemuda itu dengan penuh kedewasaan.
"Tak tahu kang, saya malu pulang ke rumah” timpalku,
“Baiklah, kamu kerumah akang dulu, setelah itu akang antar kamu pulang kerumahmu oke ?” pintanya penuh harap. Aku mengangguk saja menuruti.
Lalu kamipun keluar dari mesjid dan naik angkot no 04 jurusan Cipanas.
Sesampai dirumah, “Wah, ternyata akang ini anaknya seorang kiyai kondang di Garut dan terkenal dengan ketawadluwannya” bisiku dalam hati. Aku dijamu dirumahnya, subhanallah mereka keluarga yang bahagia. “oh….ibuku” sesal dalam hatiku.
“Ayo, gimana Fan, sudah siap menemui ibumu ?” tanya kang Asad mengagetkanku,
“Ayo kang, Fandi sudah siap” ku jawab dengan sejuta tekad dan penyesalanku.
Jantungku berdegup kencang seiring lajunya roda bebek Satria menuju rumahku. Ku teringat terus wajah ibu yang dulu telah mengandungku, menyusuiku, mendidikku, dan banting tulang membiayai hidupku “Aku malu pada ibuku, dasar anak tak tahu terima kasih, anak durhaka” teriaakku dalam hati.
“I...ni kang rumah Fandi” ragu aku berucap karena malu aku bertemu ibu.
“Oh disini, ayo Fan persiapkan tekadmu, minta maaf pada ibumu, peluklah dia!” support kang Asad membangkitkan tekadku.
Ku melangkah menuju pintu rumah, ku ketuk pintu dan “Assalamualaikum” ku ucapkan salam penuh rasa harap dan penyesalan. Lama aku menunggu pintu terbuka, hatiku cemas, pikiranku tak karuan “ ada apa dengan ibu ?” hatiku sepontan bertanya.
Lalu, “wa’alaikum salam” suara lemah ibuku terdengar menusuk kalbu. Dan pintu itu terbuka, dan ku lihat sosok mulianya seorang ibu, tak ragu aku langsung memeluk ibu dengan sejuta penyesalan, maaf dan rasa terimakasih kutumpahkan dalam tangisan.
“Terimakasih Allah, terimakasih ibu, terimakasih kang Asad, terimakasih ibu….. Ya Allah, jadikan aku sebagai anak yang shaleh”.
(kupersembahkan untuk sahabatku yang berbakti pada orang tua ).

PemUdA TanDa TaNgAn

"Orang-orang saat ini terlalu mendahulukan gengsi!" bentaknya
"Hus!, itu sudah jadi haknya perempuan, kita tidak bisa melarangnya" tukasku
"Menurutku hak mereka ini sudah ditunggangi hawa nafsu, terlalu matre!" Sa'id bersiteguh
"Sudah, sudah, kita tidak usah ngomongin ini lagi. Masih ada masalah yang lebih besar dari pada ini" ku berusaha mengalihkan pikirannya.
Gemercik air sungai Nil seakan ikut berbicara akan peliknya masalah yang dihadapi temanku ini. Dia Sa'id Fathi, cocok dengan namanya ia selalu ingin menjadi pendobrak dan pioner dalam segala hal. Kali ini dia dihadapkan permasalahan yang sangat pelik baginya, dan mungkin bagi saya juga, sebab ini bukan lagi urusan orang lain tapi menjadi urusan temanku dan saya.
Besoknya di masjid Al Fatah saya melihat Sa'id duduk menunggu iqamat "Bagaimana, antum masih memikirkan itu lagi?" tanya saya memastikan.
"Entahlah, kayaknya untuk saat ini saya mesti menepis masalah ini dulu" jawabnya tenang. "O ya, bagaimana persiapan ikhwah semua untuk Mudhzaharah minggu depan?" dia balik bertanya.
"Alhamdulillah, untuk saat ini masih lancar dan persiapan spanduk baru siap lima helai. Antum sendiri gimana bahan orasinya nanti, sudah siap belum?. Jangan sampai masalah yang antum pikirkan sekarang, keluar pas orasi nanti"
"ee, mana bisa, objek masalahnya kan berbeda" Sa'id malu-malu menjawab, tangannyapun tak diam sembari mencubit perutku.
"Aw!!, udah-udah, kita kan lagi di mesjid" sedikitku berteriak. Tak sadar ternyata mata para jama'ah tertuju melihat kami, ada juga beberapa jama'ah menguncupkan kelima jarinya ke atas tanda kami mesti diam, serentak kami tertunduk malu.
"Ahad depan adalah sejarah besar bagi bangsa kita". Bisik Sa'id sambil mengerutkan keningnya, disusul dengan tarikan nafas panjang.
"Benar temanku, sejarah bangsa akan kita mulai" dada saya seketika panas, sepanas tekad kami yang akan membakar kelaliman.
Selepas hari itu saya jarang bertemu dengan Sa'id, dia dan saya sedang sibuk mempersiapkan sejarah besar nanti. Oh ya, saya lupa mengenalkan diri. Saya Basil Abdul Jabbar, saya masih kuliah sekarang firqah akhir satu lokasi kuliah dengan Sa'id, bedanya saya mengambil fakulltas Ushuluddin, dia mengambil fakultas Sastra Arab. Ahad nanti perjuangan kami akan dimulai di jalanan, demi menentang kelaliman penguasa yang sudah lama menerapkan Undang-undang Thawari' kepada rakyat Mesir. Perjuangan akan dikemas dalam demonstrasi, dari berbagai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat. Kebetulan, demo kali ini organisasi kami, Usrah An Nur, yang memimpin dan di bawah komando Sa'id Fathi.
"Thayyib!, kami harapkan setiap pemimpin organisasi dapat menghandel anggotanya. Kita akan mulai long march menuju pusat kota, setelah seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat berkumpul di depan kampus Ushuluddin" jelas Sa'id kepada para pemimpin organisasi.
"Bagaimana dengan posisi banat nanti?" tanya ketua organisasi kampus Syari'ah wal Qanun.
"Bagaimana Basil?" Sa'id menoleh ke arahku.
"Posisi banat kita simpan di belakang, agar jika terjadi respon negatif dari aparat, mereka dapat segera menghindar masuk ke setiap gang di kota" paparku dengan tenang.
"Apa maksudmu mengatakan respon negatif aparat?!, memangnya kamu akan menyerang mereka?!" sergah seorang wakil dari organisasi lain, yang sedari tadi terlihat gugup dan berkeringat.
"Tenang akhi, kita tidak akan apa-apa selama kita tidak terprovokasi" ujar Sa'id menenangkannya. "Besok kita akan berkumpul di tempat yang telah kita tetapkan, tepat pada jam 10 pagi long march kita mulai dan berhenti di pusat kota. Saya harapkan setiap elemen dapat komitmen dan mempersiapkan segala hal yang mesti kita bawa nanti" tambah Sa'id.
Semua peserta rapat menganggukan kepala tanda kesiapan mereka, lalu mereka bubar.
"Sil, sudah berapa spanduk yang disiapkan, dan bagaimana dengan kepanduan banin dan banat apakah mereka telah mengecek setiap sudut kota? bagaimana dengan media massa yang telah antum hubungi? lalu..." cerocos Sa'id.
"Stop!, tenang kawan insyaalloh semua sudah kami tangani, jangan terlalu tegang seperti ini. Kita makan kuftah dulu di tempat biasa kita kunjungi, tapi..."
"Stop!, tapi antum yang mentraktir saya ya?" susul Sa'id nyengir.
Sebentar ku rogoh saku celana, "Maasyi ya 'am" ku tarik lengannya sambil berjalan cepat, sebab saya juga sudah kelaparan.
Sesampai di cafe saya langsung pergi ke kasir memesan sepuluh tusuk kuftah, Sa'id menunggu di meja sudut. Tapi, saya lihat air muka dia muram, dan beberapa hari ini dia sedikit bercanda. "Ah, dia mungkin sedang lelah menghadapi sejarah besar besok" gumamku di hati.
"Sa'id!" ku tepuk pundaknya yang sedari tadi kubiarkan dia sendirian. "Ada apa?, insyaalloh, Allah pasti akan menolong kita" ujarku sekenanya.
"Bukan itu yang sedang saya pikirkan sekarang, kemarin ibuku bertanya kapan saya menikah. Saya hanya bisa diam" Sa'id memandang lurus ke depan, menembus dinding, mengosongkan pikiran. Saya hanya bisa menatapnya, dan berharap tatapanku bisa meraba hatinya, sehingga bisa kurasakan kegamangannya. Sore itu kami saling menumpahkan angan-angan, sebelum angan-angan itu besok terkubur perjuangan.
"Basil, tolong cek apakah semua organisasi sudah berkumpul?, sebab lima menit lagi long march akan kita mulai " tanya Sa'id.
"Baik" ku jawab sigap. "Sa'id, mereka semua telah datang dan siap untuk dikomando" laporku.
Sa'id langsung berjalan ke tempat yang memungkinkan bisa dilihat massa "Hari ini, kita akan memperjuangkan hak-hak rakyat. Semua ini hanya untuk mengharap ridla ilahi. Kami harapkan semua elemen tidak mudah terprovokasi oleh siapapun. Allaaahu Akbar!" kata-katanya seakan-akan membakar kegamanganan dan kecemasan massa yang berjumlah kurang lebih 700 orang.
Long march dimulai, semua orang berjalan dengan rapih sambil meneriakan yel-yel menuntut penghapusan undang-undang Thowari'. Setelah lima menit kami berjalan, raungan serine polisi lalu lintas terdengar mengaum bak singa hendak menciutkan semangat, delapan mobil polisi dan belasan motor polisi mengiringi kami. Kami yakin aparat pasti sudah mencium rencana kami, sebab Intelegent Negara sangat banyak, bahkan dia bisa jadi menyamar sebagai mahasiswa, mereka tidak akan segan-segan menyerang para pendemo sebab inipun termasuk legitimasi dari undang-undang Thowari'.
Setelah kami memasuki pintu pusat kota, Polantas menutup satu jalan sehingga kami belok ke jalan satunya lagi. Kami berhenti.
"Assalaamu'alaikum!. Ikhwati wa Akhawati fillaah, Kedatangan kita kesini tidak ditunggangi kepentingan pribadi ataupun golongan. Tapi datangannya kita disini hanya ingin menunutut hak-hak keamanan rakyat, aparat sudah lama menakuti kita hanya dengan alasan undang-undang Thowari'. Karena itu hapuskan undang-undang Thowari' sekarang juga!! " teriak Sa'id bak ombak berusaha menabrak karang.
"Hapus Undang-undang Thowari'!" serentak teriak massa. Sedangkan di kiri-kanan Polantas masih berjajar mengawasi setiap gerak kami, entah apa yang ada dalam pikiran mereka, sayapun tak dapat membacanya.
"Berapa ribu kaum hawa kehilangan suami dan anaknya disubuh hari, berapa banyak anak-anak terlantar tidak dinafkahi sebab ayah-ayahnya hilang diculik aparat. Semua ini mereka lakukan dengan alasan ada legitimasi dari undang-undang Thowari' laknat!" berkali-kali Sa'id meneriakkan hak-hak rakyat.
Tak terasa, selama satu jam setengah kami mengacungkan spanduk-spanduk dan berteriak satu komando menuntut penghapusan undang-undang Thowari', selama itupula kami telah mendengarkan beberapa orasi. Aparat kepolisian tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Di setiap sudut sayup-sayup suara mua'dzin menyeru, tanda shalat dzhuhur sudah masuk. Seketika teriakan-teriakan orasi dan yel-yel hening, semua menjawab adzan. Kemudian di depan, di podium Sa'id Fathi berseru "Ikhwati wa Akhawati fillaah, panggilan ibadah sudah menggema. Karena itu, kami harapkan semua menuju mesjid-mesjid terdekat untuk melaksanakan shalat dzuhur, setelah itu kembali berkumpul ke tempat semula. Jangan lupa, berdo'a kepada Allah semoga perjuangan kita membuahkan hasil"
Lantas massa semua berbalik teratur menuju mesjid-mesjid terdekat, sayapun berjalan bersama Sa'id menuju mesjid. Sejuk kurasakan ketika air menyentuh tiap anggota wudlu.
"Alhamdulillah, sampai saat ini keadaan tenang dan terkendali" ucap Sa'id sambil memperhatikan kertas pengumuman di dinding mesjid.
"Ya, Alhamdulillah semoga kondisi ini berjalan sampai akhir" jawabku.
Kembali, massa berkumpul ke tempat semula. Tapi, hawa jalan kali ini terasa panas, saya lihat Polantas tadi sudah berubah seragam dan muka mereka seakan menyeramkan.
"Sa'id!, lihat dengan Polantas-Polantas itu" kataku sambil menunjuk ke arah mereka.
"Tenang Basil, saya sudah tahu sekarang aparat mengganti Polantas dengan Pasukan Anti Huru-Hara. Mereka sedang menunggu reaksi kita, tenang, selama kita tidak terprovokasi mereka tidak akan bergerak" papar Sa'id menenangkan.
Tak lama, setelah massa berbaris kembali, Sa'id naik ke atas podium. Tapi, Pasukan Anti Huru-Hara lantas membuat barisan di depan memenuhi jalan, kami dengan mereka sekarang saling berhadap-hadapan. Mereka terus melangkah maju dengan memukulkan tongkatnya dan menangkap massa. Seketika itu massa berlarian tak dapat dikendalikan, mereka terus berlari tidak dapat membuat perlawanan sebab aparat terlalu kuat, juga mereka tidak dapat bersembunyi, sebab toko-toko yang sedari tadi terbuka kini telah tertutup. Pasukan aparat menembakan beberapa gas air mata dan terus menyisir jalanan dengan memukulkan tongkat pemukul ke tubuh kawan-kawan, mereka menangkap siapa saja yang mereka temui.
Sementara itu saya dan Sa'id terus berlari sambil mengawasi kawan-kawan di belakang, namun tak disangka, Sa'id yang sedari tadi menuntun kawan-kawan yang jatuh, aparat dengan sigap menangkapnya dan memukul kepalanya sampai darah mengalir ke wajah. Saya hanya bisa tertegun melihat teman yang saya sayangi dikejauhan lunglai diseret ke mobil patroli.
"Bagaimana keadaanmu kawanku?" pertanyaan Sa'id membuat hatiku perih.
"Sa'id, sa...saya minta maaf karena tidak bisa menolongmu waktu itu. Sehingga kini antum mesti mendekam di sel selama satu bulan. Maafkan saya" sesalku.
"Ah, itu bukan salahmu kawanku. Ini adalah konsekwensi dari sebuah perjuangan, saya menerimanya dengan ikhlash. Oh ya, bagaimana kawan-kawan yang lain?" dia malah bertanya.
"euh... seorang ikhwah kita meninggal karena pukulan tongkat aparat membuat dia gegar otak, 32 orang tertangkap termasuk antum dan 4 orang hilang tidak ada berita" tuturku.
"Inalillaahi wa inna ilahi raji'un, semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan yang lebih banyak. Saya masih untung tidak sampai gegar otak" kata Sa'id sambil tersenyum.
Sebulan sudah Sa'id mendekap di penjara, hari ini dia akan keluar, dan saya mesti menyambutnya di gerbang penjara.
"Mabruk ya Sa'id, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang lebih banyak" ujarku
"ya, saya kembali kawanku. Tapi, sebelum saya pulang ke rumah, saya ingin menuju mesjid dimana kita dulu shalat ketika demo. Sebab di mesjid itu dulu saya melihat pamplet jadwal muhadlarah syaikh An Najar Abdurrahim setiap malam senin, beliau seorang ulama kharismatik. Selain itu, saya ingin mengenang peristiwa sebulan kebelakang" pintanya membuatku heran.
Ba'da maghrib muhadlarah dimulai, kami mendengarkan ceramahnya dengan khusyu, ceramahnya memang memukau dan pembahasannyapun menarik "Pemuda dan kebangkitan Islam, itu tema muhadlarahnya kali ini" tutur Sa'id, yang sedari tadi matanya tak bisa lepas menatap Syaikh An Najar. Saya hanya mengangguk tanda setuju, tema ini memang menarik.
"Menikah tidak akan menghalangi gerak da'wah pemuda, bahkan itu sangat membantu. Saya kecewa dengan tradisi masyarakat saat ini, yang membebankan mahar begitu mahal, sehingga tidak sedikit pemuda-pemudi Mesir yang masih membujang dan asyik pacaran. Sebab itu, saya katakan siap membantu sebisa mungkin kepada siapa saja yang ingin berniat untuk menikah" Nasihat penutup syaikh An Najar menyisakan senyum bagi para mustami' yang kebanyakan pemuda. Kulihat temanku yang satu inipun tersenyum, entah apa yang sedang meliuk-liuk dipikirannya.
"Basil, ikut saya!" suruhnya. "Kemana?" tanyaku heran
"Ayo ikut saja" sedikit memaksa.
"Syaikh, boleh saya bicara sebentar" pinta Sa'id penuh harap.
"Boleh silahkan" jawab Syaikh ramah.
Setelah memperkenalkan diri, Sa'id membicarakan nasihat dan ajakan syaikh tadi di akhir ceramah. Tak disangka Sa'id bertanya "Syaikh, kalau tidak salah Anda memiliki seorang putri?", "Benar" jawab Syaikh heran, sayapun heran.
"Setelah mendengar perkataan syaikh di akhir ceramah tadi, dan setelah melihat kondisi finansial saya yang masih kurang memadai. Saya berharap bagaimana jika Syaikh menjadi mertua saya" pertanyaan Sa'id yang satu ini membuat Syaikh tersentak, sayapun demikian. "Ada apa dengan Sa'id, apa yang telah dia pelajari selama sebulan di penjara?" bisik batinku heran.
"Nak, saya belum bisa memutuskan, tapi saya tidak akan mengecewakan itikad baik kamu. Begini, saya akan izinkan kamu menikahi anak saya dengan syarat kamu bisa mendapatkan 20 tanda tangan persetujuan dari tokoh Jama'ah Irsyadiah dalam waktu 10 hari " jawaban syaikh malah membuatku kaget, Sa'id tersenyum bangga. Setelah berpamitan kepada Syaikh, kami melangkahkan kaki keluar mesjid.
"Sil, antum harus menolong saya agar cita-citaku ini terlaksana" pintanya sambil memeluk tubuhku erat.
"Saya akan mendukungmu, syarat ini tidak terlalu sulit sebab kitapun sudah lama berkhidmah menjadi anggota Jama'ah Irsyadiah" jawabku menguatkan tekadnya.
Selama sepuluh hari kami pontang-panting keluar-masuk rumah tokoh-tokoh Jama'ah Irsyadiah. Hari kesebelas kami kembali mengunjungi Syaikh, kali ini di rumahnya. Kami disambut ramah oleh Syaikh, langsung tidak banyak basa-basi Sa'id berkata
"Syaikh, saya telah menunaikan syarat syaikh waktu itu. Dan ini daftar persetujuan para tokoh Jama'ah Irsyadiah beserta namanya" Sa'id menyerahkan kertas itu, dia terlihat sangat gugup.
Hati-hati Syaikh membuka kertas, air muka Syaikh berubah heran, lalu beliau tersenyum.
"Subhanallah, kamu telah menunaikan syarat-syarat ini, bahkan jumlah tanda tangan melebihi yang saya minta" Syaikh masih terheran-heran "Baik, saya tidak akan menunda-nunda keinginanmu. Saya beri kamu waktu dua minggu untuk mempersiapkan segalanya, setelah itu silahkan membawa keluargamu untuk meminang sekaligus menikahi putri saya. Mengenai masalah finansial pernikahan semua akan saya tanggung" tegas Syaikh sambil tersenyum.
Dua minggu berlalu begitu cepat, saya berjalan mengiringi kawan seperjuanganku ini menuju pelaminan. Setelah wali perempuan mengizinkan, maka sahlah kawanku menjadi suami dari puteri seorang Syaikh.
Kupeluk Sai'd penuh haru, saya berbisik dalam pelukannya "Inilah nampaknya balasan dari perjuanganmu selama ini"
"Syukran Basil, antum telah banyak menemani perjuangan saya, insyaalloh antum akan menyusul" bisiknya di telinga saya.
"Perjalananku masih panjang kawanku" jawabku enteng.
Hari itu, seakan hari dimana kami bisa mengistirahatkan sementara sendi-sendi perjuangan.

AkU dAn FoTo ItU

"Setan!", atau aku memang setan?. Kenapa mesti terus menyalahkan setan, seakan-akan aku hendak melepaskan semua dosaku, lalu kubebankan semua pada setan. Siapa sebenarnya setan, akukah?, atau…?
Memang, aku manusia biasa, aku bukan Malaikat. Tapi, akupun bukan setan. Aku manusia, titik!, meskipun ku akui aku adalah manusia makhluk bermuka dua. Tapi, kenapa muka setanku yang selalu kunampakkan meskipun hanya dalam kesendirian.
"Tidak!, aku ini seorang ustadz juga seorang tokoh pemuda yang seharusnya memberikan tauladan baik bagi masyarakat" sedikit ku berteriak. Meskipun tak dapat aku tutup-tutupi bahwa aku ini adalah seorang pemuda lajang yang tak lepas dari serangan hawa nafsu.
***
Aku Bahrul Singa Warman, aku lulusan S1 di Universitas Al Azhar Cairo. Kepulanganku ke tanah Parahyangan ini hanya karena tuntutan kakekku, beliau seorang Kiyai kondang, tapi sekarang beliau sudah lanjut usia dan mulai sakit-sakitan. Pesantren yang dulu dikelolanya, saat ini menjadi tanggung jawabku. Makanya, niatku dulu ingin melanjutkan S2 di Universitas yang sama, tidak kesampaian karena kakek terus memaksaku pulang untuk mengelola pesantren.
Disamping mengurus pesantren, keseharianku disibukkan dengan ceramah dan menulis. Tapi, jiwa mudaku jadi sering berontak ketika pertama kali ….
***
Kupandangi lagi foto ukuran 9x13 itu, terkadang aku ngintip dari jendela perpustakaan pribadiku, yah hanya untuk melampiaskan tuntutan hawa nafsuku. Ku amati terus tiap liuk dan garik-gerik, walaupun hati kecilku meronta dan berontak.
"Tak apalah, yang penting kamu tidak merugikan orang lain" bisik batinku.
"Ya, tidak merugikan orang lain" bisikan lain ikut mendukungku.
Tiap kali kumelakukannya tiap kali itu pula kumerasionalisasikannya, agar penyesalan itu tak selalu menghantui benakku.
Pernah, saat biasa kupandangi foto itu di perpustakaan pribadi, tiba-tiba adikku masuk nyelonong.
"Eh Aa, maafin yah, kirain nggak ada siapa-siapa" ucap adikku polos.
"Makanya, kalo mau masuk ketok dulu biar mastiin ada orang atau enggak!!", jantungku berdegup kencang dan nada bicaraku meninggi. Adikku tertunduk dan mendekat.
"Eh A, tadi lagi megang apa, kayaknya serius banget?" Tanya adikku.
"Dug", dadaku sesak serasa dihantam gadam, pertanyaan itu seakan hendak menelanjangiku.
"Ng…gak ada, sudah pergi sana!!"
"ah, kenapa dengan ucapanku, duh alangkah hinanya aku dihadapan adikku" hatiku merintih.
"Ma…afin Fahmi, kalo Ami salah bertanya. Nih, Ami kesini hanya ingin ngasih surat undangan ceramah dari Mesjid At Tamam" sambil menyodorkan surat, adikku ketakutan.
"Maafin Aa, sebenarnya tak ada maksud Aa ingin memarahimu, andai saja kamu tau…" sesal batinku.
"Ceramah!!", andai saja mereka tau siapa diriku dikala kesendirian. Memang, aku akui kalo retorika ceramahku memukau, ketika aku berteriak mustami' tertegun, dikala aku menangis mereka tersedu-sedu. Tapi, ceramahku ini seakan menambah kehinaanku, ketakberdayaanku, kekerdilanku,…ah…titel License-kupun hanya kedok yang menutupi dosa-dosaku.
Kuberanjak menuju ruang keluarga, membawa beribu-ribu tekad yang menggantung.
"Bu, Pa, sudah waktunya saya menggenapkan perjalanan hidup. Saya masih menunggu keputusan Bapak dan Ibu dulu" kususun kata-kata penuh hati-hati. Seketika suasana menjadi hening.
Ibu mulai angkat bicara "Rul, anakku, kamu ini anak sulung dan kamu adalah harapan ibu satu-satunya. Adikmu belum dewasa dan Bapakmu belum sembuh. Bagaimana kalau niatmu itu ditunda dulu sampai keadaan Bapakmu membaik" jawab ibuku memelas.
Duh, aku tak sanggup melihat mata ibu berkaca-kaca, ibu memang sangat mengharapkanku agar bisa membantu pengobatan Bapak. Ku akui, Ibu sudah mulai melemah, raut di wajahnya mulai menua, beliau terlalu sayang padaku sehingga takut jika aku menikah nanti, aku tidak bisa menemaninya lagi.
"Tapi aku, bagaimana dengan diriku" batinku berontak. Mulutku kelu tak bisa berucap.

Foto itu kukeluarkan lagi dari himpitan lembaran buku diary, hanya untuk mengobati kebutuhan nafsuku. Lalu, setelah itu kurasionalisasikan lagi, agar tak kusesali perbuatanku ini.
"Ah, dari pada saya berzinah!", hembusan panas ini terus meniupi amarahku.
Sekonyong-konyong aku teringat dengan bacaanku kemarin, Ibnu Qayyim berkata: "Ulama Su' (jelek) itu adalah mereka yang duduk di depan pintu Surga, mereka menyeru manusia dengan ucapannya. Namun, mereka menyeru manusia menuju neraka dengan perbuatannya",
"hiiii" tubuhku langsung merinding.
Kembali hawa panas itu membentak "Tapi kamu tidak terang-terangan melakukannya!"
Hati kecilku merintih dan berkata lirih "Kamu kan sudah tau hukumnya Ghadlul Bashar?", tertegun ku mencari sebuah jawaban.
***
Setiap pagi kecuali hari Jum'at, ku berangkat ke pesantren. Setelah keliling-keliling kelas sebentar untuk mengontrol keadaan, aku lekas beranjak menuju kantor pribadi. Melamun, tidak lebih. Sebab tiap kali kupergi kesini, foto itu menjelma menjadi seorang "Jinsun Lathîf" (makhluq halus).
"Ah…seandainya", mulai kumelamun.
Kamis sorenya aku biasa bersama Ibu pergi ke RS dr. Slamet untuk check up Bapak.
"Stroke, pak Warman mulai membaik" tutur pak dokter sambil memberikan resep obat seperti biasa.
"Alhamdulillah!!" serentak aku dan Ibu berhamdalah.
Ya, Alhamdulillah, karena dengan kesembuhan Bapak maka cita-cita lamaku akan segera terkabul.

Kupandangi foto itu dengan senyum bangga, karena dia tak kan lagi mengganggu aktivitas da'wahku.
"Sebentar lagi, Sebentar lagiii……" ku berteriak melepas rasa bahagia.
"Tok, tok, tok" pintu perpustakaan diketok, segera kusimpan foto itu.
"Kenapa A, kok teriak-teriak?" Tanya adikku heran.
"Ups" tak ku jawab, langsung kudekap tubuh adikku dengan erat, Adikku bingung.
"Ah adikku, kamu belum dewasa" bisik batinku bahagia.
"Prang!" sekonyong-konyong suara piring jatuh di kamar Atas. Tak ragu ku langsung lari bersama adik ke kamar, namun, ku lihat tubuh Ibu lunglai terjerembab di atas lantai. Bapak tak kuasa melihat, karena tak berdaya untuk bergerak.
"Ami, cepat telpon Ambulan!" hatiku tak menentu, pikiranku tak karuan.
"Jangan ibu, jangan sekarang..!"
Tak lama, suara sirine Ambulan meraung seakan ikut bersedih. Kutemani Ibu dan kutunggu di depan pintu UGD. Seiring degup jantungku yang berdebur, pikiranku terus bertanya "Kenapa, ada apa dengan Ibu?".
"Sabar ya dik, Ibumu dalam keadaan kritis. Beliau terserang TBC" tutur dokter membuat mataku berkunang-kunang.
"Apa?!, tidak!" aku bingung, lututku lemas. Pantas, aku sering melihat Ibu menyembunyikan batuknya, dan entah apa yang dipegang ditangannya. Duh, ternyata Ibu terserang TBC.
Tak terasa, air hangat keluar dari kedua kelopak mataku, kerongkonganku tercekat, pikiranku tak menentu.
"AKu,…foto itu,….Ibu,…cita-citaku,….dosaku" kumenangisi diriku dan Ibu.
Kemana lagi aku mesti mengadu, tanggung jawabku semakin berat. Tapi foto itu, cita-cita itu…?. Akankah foto itu menjadi halal bagiku?, akankah akhwat di foto itu yang selalu ku intip di jendela perpustakaan, selalu kulirik di saat dia mengajar di pesantren, selalu menjadi angan-angan dan lamunanku itu, menjadi istriku?!.
Kembali kupandangi foto itu dengan tatap kosong.
Disaat kefasikan melilit emosi