Monday, November 10, 2008

PemUdA TanDa TaNgAn

"Orang-orang saat ini terlalu mendahulukan gengsi!" bentaknya
"Hus!, itu sudah jadi haknya perempuan, kita tidak bisa melarangnya" tukasku
"Menurutku hak mereka ini sudah ditunggangi hawa nafsu, terlalu matre!" Sa'id bersiteguh
"Sudah, sudah, kita tidak usah ngomongin ini lagi. Masih ada masalah yang lebih besar dari pada ini" ku berusaha mengalihkan pikirannya.
Gemercik air sungai Nil seakan ikut berbicara akan peliknya masalah yang dihadapi temanku ini. Dia Sa'id Fathi, cocok dengan namanya ia selalu ingin menjadi pendobrak dan pioner dalam segala hal. Kali ini dia dihadapkan permasalahan yang sangat pelik baginya, dan mungkin bagi saya juga, sebab ini bukan lagi urusan orang lain tapi menjadi urusan temanku dan saya.
Besoknya di masjid Al Fatah saya melihat Sa'id duduk menunggu iqamat "Bagaimana, antum masih memikirkan itu lagi?" tanya saya memastikan.
"Entahlah, kayaknya untuk saat ini saya mesti menepis masalah ini dulu" jawabnya tenang. "O ya, bagaimana persiapan ikhwah semua untuk Mudhzaharah minggu depan?" dia balik bertanya.
"Alhamdulillah, untuk saat ini masih lancar dan persiapan spanduk baru siap lima helai. Antum sendiri gimana bahan orasinya nanti, sudah siap belum?. Jangan sampai masalah yang antum pikirkan sekarang, keluar pas orasi nanti"
"ee, mana bisa, objek masalahnya kan berbeda" Sa'id malu-malu menjawab, tangannyapun tak diam sembari mencubit perutku.
"Aw!!, udah-udah, kita kan lagi di mesjid" sedikitku berteriak. Tak sadar ternyata mata para jama'ah tertuju melihat kami, ada juga beberapa jama'ah menguncupkan kelima jarinya ke atas tanda kami mesti diam, serentak kami tertunduk malu.
"Ahad depan adalah sejarah besar bagi bangsa kita". Bisik Sa'id sambil mengerutkan keningnya, disusul dengan tarikan nafas panjang.
"Benar temanku, sejarah bangsa akan kita mulai" dada saya seketika panas, sepanas tekad kami yang akan membakar kelaliman.
Selepas hari itu saya jarang bertemu dengan Sa'id, dia dan saya sedang sibuk mempersiapkan sejarah besar nanti. Oh ya, saya lupa mengenalkan diri. Saya Basil Abdul Jabbar, saya masih kuliah sekarang firqah akhir satu lokasi kuliah dengan Sa'id, bedanya saya mengambil fakulltas Ushuluddin, dia mengambil fakultas Sastra Arab. Ahad nanti perjuangan kami akan dimulai di jalanan, demi menentang kelaliman penguasa yang sudah lama menerapkan Undang-undang Thawari' kepada rakyat Mesir. Perjuangan akan dikemas dalam demonstrasi, dari berbagai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat. Kebetulan, demo kali ini organisasi kami, Usrah An Nur, yang memimpin dan di bawah komando Sa'id Fathi.
"Thayyib!, kami harapkan setiap pemimpin organisasi dapat menghandel anggotanya. Kita akan mulai long march menuju pusat kota, setelah seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat berkumpul di depan kampus Ushuluddin" jelas Sa'id kepada para pemimpin organisasi.
"Bagaimana dengan posisi banat nanti?" tanya ketua organisasi kampus Syari'ah wal Qanun.
"Bagaimana Basil?" Sa'id menoleh ke arahku.
"Posisi banat kita simpan di belakang, agar jika terjadi respon negatif dari aparat, mereka dapat segera menghindar masuk ke setiap gang di kota" paparku dengan tenang.
"Apa maksudmu mengatakan respon negatif aparat?!, memangnya kamu akan menyerang mereka?!" sergah seorang wakil dari organisasi lain, yang sedari tadi terlihat gugup dan berkeringat.
"Tenang akhi, kita tidak akan apa-apa selama kita tidak terprovokasi" ujar Sa'id menenangkannya. "Besok kita akan berkumpul di tempat yang telah kita tetapkan, tepat pada jam 10 pagi long march kita mulai dan berhenti di pusat kota. Saya harapkan setiap elemen dapat komitmen dan mempersiapkan segala hal yang mesti kita bawa nanti" tambah Sa'id.
Semua peserta rapat menganggukan kepala tanda kesiapan mereka, lalu mereka bubar.
"Sil, sudah berapa spanduk yang disiapkan, dan bagaimana dengan kepanduan banin dan banat apakah mereka telah mengecek setiap sudut kota? bagaimana dengan media massa yang telah antum hubungi? lalu..." cerocos Sa'id.
"Stop!, tenang kawan insyaalloh semua sudah kami tangani, jangan terlalu tegang seperti ini. Kita makan kuftah dulu di tempat biasa kita kunjungi, tapi..."
"Stop!, tapi antum yang mentraktir saya ya?" susul Sa'id nyengir.
Sebentar ku rogoh saku celana, "Maasyi ya 'am" ku tarik lengannya sambil berjalan cepat, sebab saya juga sudah kelaparan.
Sesampai di cafe saya langsung pergi ke kasir memesan sepuluh tusuk kuftah, Sa'id menunggu di meja sudut. Tapi, saya lihat air muka dia muram, dan beberapa hari ini dia sedikit bercanda. "Ah, dia mungkin sedang lelah menghadapi sejarah besar besok" gumamku di hati.
"Sa'id!" ku tepuk pundaknya yang sedari tadi kubiarkan dia sendirian. "Ada apa?, insyaalloh, Allah pasti akan menolong kita" ujarku sekenanya.
"Bukan itu yang sedang saya pikirkan sekarang, kemarin ibuku bertanya kapan saya menikah. Saya hanya bisa diam" Sa'id memandang lurus ke depan, menembus dinding, mengosongkan pikiran. Saya hanya bisa menatapnya, dan berharap tatapanku bisa meraba hatinya, sehingga bisa kurasakan kegamangannya. Sore itu kami saling menumpahkan angan-angan, sebelum angan-angan itu besok terkubur perjuangan.
"Basil, tolong cek apakah semua organisasi sudah berkumpul?, sebab lima menit lagi long march akan kita mulai " tanya Sa'id.
"Baik" ku jawab sigap. "Sa'id, mereka semua telah datang dan siap untuk dikomando" laporku.
Sa'id langsung berjalan ke tempat yang memungkinkan bisa dilihat massa "Hari ini, kita akan memperjuangkan hak-hak rakyat. Semua ini hanya untuk mengharap ridla ilahi. Kami harapkan semua elemen tidak mudah terprovokasi oleh siapapun. Allaaahu Akbar!" kata-katanya seakan-akan membakar kegamanganan dan kecemasan massa yang berjumlah kurang lebih 700 orang.
Long march dimulai, semua orang berjalan dengan rapih sambil meneriakan yel-yel menuntut penghapusan undang-undang Thowari'. Setelah lima menit kami berjalan, raungan serine polisi lalu lintas terdengar mengaum bak singa hendak menciutkan semangat, delapan mobil polisi dan belasan motor polisi mengiringi kami. Kami yakin aparat pasti sudah mencium rencana kami, sebab Intelegent Negara sangat banyak, bahkan dia bisa jadi menyamar sebagai mahasiswa, mereka tidak akan segan-segan menyerang para pendemo sebab inipun termasuk legitimasi dari undang-undang Thowari'.
Setelah kami memasuki pintu pusat kota, Polantas menutup satu jalan sehingga kami belok ke jalan satunya lagi. Kami berhenti.
"Assalaamu'alaikum!. Ikhwati wa Akhawati fillaah, Kedatangan kita kesini tidak ditunggangi kepentingan pribadi ataupun golongan. Tapi datangannya kita disini hanya ingin menunutut hak-hak keamanan rakyat, aparat sudah lama menakuti kita hanya dengan alasan undang-undang Thowari'. Karena itu hapuskan undang-undang Thowari' sekarang juga!! " teriak Sa'id bak ombak berusaha menabrak karang.
"Hapus Undang-undang Thowari'!" serentak teriak massa. Sedangkan di kiri-kanan Polantas masih berjajar mengawasi setiap gerak kami, entah apa yang ada dalam pikiran mereka, sayapun tak dapat membacanya.
"Berapa ribu kaum hawa kehilangan suami dan anaknya disubuh hari, berapa banyak anak-anak terlantar tidak dinafkahi sebab ayah-ayahnya hilang diculik aparat. Semua ini mereka lakukan dengan alasan ada legitimasi dari undang-undang Thowari' laknat!" berkali-kali Sa'id meneriakkan hak-hak rakyat.
Tak terasa, selama satu jam setengah kami mengacungkan spanduk-spanduk dan berteriak satu komando menuntut penghapusan undang-undang Thowari', selama itupula kami telah mendengarkan beberapa orasi. Aparat kepolisian tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Di setiap sudut sayup-sayup suara mua'dzin menyeru, tanda shalat dzhuhur sudah masuk. Seketika teriakan-teriakan orasi dan yel-yel hening, semua menjawab adzan. Kemudian di depan, di podium Sa'id Fathi berseru "Ikhwati wa Akhawati fillaah, panggilan ibadah sudah menggema. Karena itu, kami harapkan semua menuju mesjid-mesjid terdekat untuk melaksanakan shalat dzuhur, setelah itu kembali berkumpul ke tempat semula. Jangan lupa, berdo'a kepada Allah semoga perjuangan kita membuahkan hasil"
Lantas massa semua berbalik teratur menuju mesjid-mesjid terdekat, sayapun berjalan bersama Sa'id menuju mesjid. Sejuk kurasakan ketika air menyentuh tiap anggota wudlu.
"Alhamdulillah, sampai saat ini keadaan tenang dan terkendali" ucap Sa'id sambil memperhatikan kertas pengumuman di dinding mesjid.
"Ya, Alhamdulillah semoga kondisi ini berjalan sampai akhir" jawabku.
Kembali, massa berkumpul ke tempat semula. Tapi, hawa jalan kali ini terasa panas, saya lihat Polantas tadi sudah berubah seragam dan muka mereka seakan menyeramkan.
"Sa'id!, lihat dengan Polantas-Polantas itu" kataku sambil menunjuk ke arah mereka.
"Tenang Basil, saya sudah tahu sekarang aparat mengganti Polantas dengan Pasukan Anti Huru-Hara. Mereka sedang menunggu reaksi kita, tenang, selama kita tidak terprovokasi mereka tidak akan bergerak" papar Sa'id menenangkan.
Tak lama, setelah massa berbaris kembali, Sa'id naik ke atas podium. Tapi, Pasukan Anti Huru-Hara lantas membuat barisan di depan memenuhi jalan, kami dengan mereka sekarang saling berhadap-hadapan. Mereka terus melangkah maju dengan memukulkan tongkatnya dan menangkap massa. Seketika itu massa berlarian tak dapat dikendalikan, mereka terus berlari tidak dapat membuat perlawanan sebab aparat terlalu kuat, juga mereka tidak dapat bersembunyi, sebab toko-toko yang sedari tadi terbuka kini telah tertutup. Pasukan aparat menembakan beberapa gas air mata dan terus menyisir jalanan dengan memukulkan tongkat pemukul ke tubuh kawan-kawan, mereka menangkap siapa saja yang mereka temui.
Sementara itu saya dan Sa'id terus berlari sambil mengawasi kawan-kawan di belakang, namun tak disangka, Sa'id yang sedari tadi menuntun kawan-kawan yang jatuh, aparat dengan sigap menangkapnya dan memukul kepalanya sampai darah mengalir ke wajah. Saya hanya bisa tertegun melihat teman yang saya sayangi dikejauhan lunglai diseret ke mobil patroli.
"Bagaimana keadaanmu kawanku?" pertanyaan Sa'id membuat hatiku perih.
"Sa'id, sa...saya minta maaf karena tidak bisa menolongmu waktu itu. Sehingga kini antum mesti mendekam di sel selama satu bulan. Maafkan saya" sesalku.
"Ah, itu bukan salahmu kawanku. Ini adalah konsekwensi dari sebuah perjuangan, saya menerimanya dengan ikhlash. Oh ya, bagaimana kawan-kawan yang lain?" dia malah bertanya.
"euh... seorang ikhwah kita meninggal karena pukulan tongkat aparat membuat dia gegar otak, 32 orang tertangkap termasuk antum dan 4 orang hilang tidak ada berita" tuturku.
"Inalillaahi wa inna ilahi raji'un, semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan yang lebih banyak. Saya masih untung tidak sampai gegar otak" kata Sa'id sambil tersenyum.
Sebulan sudah Sa'id mendekap di penjara, hari ini dia akan keluar, dan saya mesti menyambutnya di gerbang penjara.
"Mabruk ya Sa'id, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang lebih banyak" ujarku
"ya, saya kembali kawanku. Tapi, sebelum saya pulang ke rumah, saya ingin menuju mesjid dimana kita dulu shalat ketika demo. Sebab di mesjid itu dulu saya melihat pamplet jadwal muhadlarah syaikh An Najar Abdurrahim setiap malam senin, beliau seorang ulama kharismatik. Selain itu, saya ingin mengenang peristiwa sebulan kebelakang" pintanya membuatku heran.
Ba'da maghrib muhadlarah dimulai, kami mendengarkan ceramahnya dengan khusyu, ceramahnya memang memukau dan pembahasannyapun menarik "Pemuda dan kebangkitan Islam, itu tema muhadlarahnya kali ini" tutur Sa'id, yang sedari tadi matanya tak bisa lepas menatap Syaikh An Najar. Saya hanya mengangguk tanda setuju, tema ini memang menarik.
"Menikah tidak akan menghalangi gerak da'wah pemuda, bahkan itu sangat membantu. Saya kecewa dengan tradisi masyarakat saat ini, yang membebankan mahar begitu mahal, sehingga tidak sedikit pemuda-pemudi Mesir yang masih membujang dan asyik pacaran. Sebab itu, saya katakan siap membantu sebisa mungkin kepada siapa saja yang ingin berniat untuk menikah" Nasihat penutup syaikh An Najar menyisakan senyum bagi para mustami' yang kebanyakan pemuda. Kulihat temanku yang satu inipun tersenyum, entah apa yang sedang meliuk-liuk dipikirannya.
"Basil, ikut saya!" suruhnya. "Kemana?" tanyaku heran
"Ayo ikut saja" sedikit memaksa.
"Syaikh, boleh saya bicara sebentar" pinta Sa'id penuh harap.
"Boleh silahkan" jawab Syaikh ramah.
Setelah memperkenalkan diri, Sa'id membicarakan nasihat dan ajakan syaikh tadi di akhir ceramah. Tak disangka Sa'id bertanya "Syaikh, kalau tidak salah Anda memiliki seorang putri?", "Benar" jawab Syaikh heran, sayapun heran.
"Setelah mendengar perkataan syaikh di akhir ceramah tadi, dan setelah melihat kondisi finansial saya yang masih kurang memadai. Saya berharap bagaimana jika Syaikh menjadi mertua saya" pertanyaan Sa'id yang satu ini membuat Syaikh tersentak, sayapun demikian. "Ada apa dengan Sa'id, apa yang telah dia pelajari selama sebulan di penjara?" bisik batinku heran.
"Nak, saya belum bisa memutuskan, tapi saya tidak akan mengecewakan itikad baik kamu. Begini, saya akan izinkan kamu menikahi anak saya dengan syarat kamu bisa mendapatkan 20 tanda tangan persetujuan dari tokoh Jama'ah Irsyadiah dalam waktu 10 hari " jawaban syaikh malah membuatku kaget, Sa'id tersenyum bangga. Setelah berpamitan kepada Syaikh, kami melangkahkan kaki keluar mesjid.
"Sil, antum harus menolong saya agar cita-citaku ini terlaksana" pintanya sambil memeluk tubuhku erat.
"Saya akan mendukungmu, syarat ini tidak terlalu sulit sebab kitapun sudah lama berkhidmah menjadi anggota Jama'ah Irsyadiah" jawabku menguatkan tekadnya.
Selama sepuluh hari kami pontang-panting keluar-masuk rumah tokoh-tokoh Jama'ah Irsyadiah. Hari kesebelas kami kembali mengunjungi Syaikh, kali ini di rumahnya. Kami disambut ramah oleh Syaikh, langsung tidak banyak basa-basi Sa'id berkata
"Syaikh, saya telah menunaikan syarat syaikh waktu itu. Dan ini daftar persetujuan para tokoh Jama'ah Irsyadiah beserta namanya" Sa'id menyerahkan kertas itu, dia terlihat sangat gugup.
Hati-hati Syaikh membuka kertas, air muka Syaikh berubah heran, lalu beliau tersenyum.
"Subhanallah, kamu telah menunaikan syarat-syarat ini, bahkan jumlah tanda tangan melebihi yang saya minta" Syaikh masih terheran-heran "Baik, saya tidak akan menunda-nunda keinginanmu. Saya beri kamu waktu dua minggu untuk mempersiapkan segalanya, setelah itu silahkan membawa keluargamu untuk meminang sekaligus menikahi putri saya. Mengenai masalah finansial pernikahan semua akan saya tanggung" tegas Syaikh sambil tersenyum.
Dua minggu berlalu begitu cepat, saya berjalan mengiringi kawan seperjuanganku ini menuju pelaminan. Setelah wali perempuan mengizinkan, maka sahlah kawanku menjadi suami dari puteri seorang Syaikh.
Kupeluk Sai'd penuh haru, saya berbisik dalam pelukannya "Inilah nampaknya balasan dari perjuanganmu selama ini"
"Syukran Basil, antum telah banyak menemani perjuangan saya, insyaalloh antum akan menyusul" bisiknya di telinga saya.
"Perjalananku masih panjang kawanku" jawabku enteng.
Hari itu, seakan hari dimana kami bisa mengistirahatkan sementara sendi-sendi perjuangan.

No comments: